Kamis, 21 November 2013

Mengemis Uang atau Mengemis Iba?


Mata pencaharian yang tersebar di jalan raya makin banyak aja variasinya. Pengemis, pengamen, dan peminta sumbangan atas nama suatu lembaga sih udah biasa ya, kita temui tiap hari. Intinya sih, sama-sama meminta belas kasih kita supaya mau ngasih mereka uang. Padahal badan mereka masih seger buat kerja dengan memanfaatkan kemampuan fisiknya tanpa harus meraup uang secara instan dengan meminta-minta.

Gw bukan termasuk orang yang ringan tangan untuk ngasihin uang ke pengamen dan pengemis. Yang mengerikan sekalipun. Kecuali gw liat kondisi mereka bener-bener gak berdaya dan emang nggak memungkinkan punya pekerjaan lain. Karena tau gak, pengamen dan pengemis tuh pada mampu kok sebenernya. Mereka masih bisa beli rokok berbatang-batang tiap hari. Walaupun dengan merelakan jatah makan mereka. Toh mereka masih bugar aja. Blom lagi aksesoris rantai-rantai, piercing, dan tato yang nempel di badan pengamen punk. Mereka bayar untuk itu, kan? Ada juga berita tentang orang kaya yang rumahnya megah dan mobilnya berderet, berkat jerih payah dari profesinya sebagai pengemis. Does it ironic?

Seminggu yang lalu, ada seorang bapak berbaju koko dan peci naik ke elf yang gw tumpangi. Bermodalkan baju agamis dan map merah berisi lembaran kertas yang entah apa tulisannya, ia membaca doa sekilas (gw juga nggak paham doa apaan) sambil menyodorkan mapnya pada penumpang. Dan ya, gw nggak ngasih uang. Abisnya nggak jelas.

Kita bisa memberikan sesuatu kepada orang lain pasti karena ada suatu rasa sama orang tersebut. Apa pun itu. Misalnya rasa empati terhadap orang cacat dan pengen bantu pengobatannya. Atau malah rasa takut saat didesak segerombolan pengamen berdandan ala anak punk dengan tindik dan tato dimana-mana. Juga rasa cinta terpendam menahun yang diberikan kepada lawan jenis yang bikin nyaman walau tau hubungan itu hanya sebatas ‘adek-kakak zone’. Lah curhat. Oke sekip.

Untuk kasus pengemis agamis ini, nggak tau juga ya, yayasan yang tertera di map dan amplop yang mereka kasih liat ke kita itu fakta atau fiktif. Tapi soal sumbangan nggak bisa main-main keleus. Gw agak kurang yakin sama peminta sumbangan jalanan. Penyalurannya belum jelas kemana, apakah akan sampai atau nggak. Kalau untuk beramal, gw lebih percaya kotak sumbangan yang ada di supermarket atau nyumbang langsung sendiri ke tempat tujuan. Lebih jelas arahnya, dan nggak lagi memanjakan oknum jahat yang keterusan meminta-minta dengan kedok bantuan untuk suatu lembaga.

Ini sih my deepest honest opinion aja ya. Mungkin orang nanggepinnya beda. Tapi gw cuma pengen orang-orang yang meminta-minta di jalanan sana tuh tolong agak pake usaha kek dikit. Jadi kuli bangunan sekalipun, itu lebih mulia dan bernilai istimewa buat menghidupi keluarga daripada terus-terusan mengharapkan iba dari orang-orang yang dianggapnya lebih mampu. Daripada lo tereak-tereak orasi ngancem dan nyumpahin orang yang nggak mau ngasih duit atau merintih melas minta duit. Tiap liat pengemis atau pengamen yang punya anggota badan utuh apalagi badannya subur, gw rasanya pengen bilang “Sumpah ya, lo tuh cuma butuh mandi biar bersihan dan ilangin ekpresi memelas lo yang malah bikin lo keliatan worthless. You can be more than this!

Tidak ada komentar: